Penulis : Nindi Zumailia Lubis Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi
Perkembangan teknologi informasi sebagai bagian dari arus globalisasi telah melahirkan bentuk kejahatan baru, salah satunya kekerasan berbasis gender online (KBGO). Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga dapat menjadi ruang yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan. Kondisi tersebut menuntut kehadiran negara melalui kebijakan hukum yang mampu memberikan perlindungan efektif bagi korban.
Dalam perspektif politik hukum, hukum tidak dapat dipisahkan dari pilihan dan arah kebijakan negara. Menurut Mahfud MD, politik hukum merupakan garis kebijakan resmi negara mengenai hukum yang akan diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian, setiap produk hukum pada dasarnya mencerminkan kehendak politik penguasa serta konfigurasi politik yang melingkupinya. Hukum bukan sekadar norma tertulis, melainkan hasil dari proses dan kompromi politik.
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dapat dipahami sebagai wujud politik hukum yang bersifat responsif. UU ini menunjukkan keberpihakan negara terhadap korban dengan menempatkan perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan hak korban sebagai fokus utama. Dalam kerangka Mahfud MD, produk hukum yang responsif biasanya lahir dari konfigurasi politik yang relatif demokratis dan terbuka terhadap tuntutan masyarakat. Kehadiran UU TPKS menandai pengakuan negara bahwa kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di ruang digital, merupakan persoalan serius yang memerlukan perlindungan hukum khusus.
Namun, arah politik hukum tersebut belum sepenuhnya konsisten apabila dikaitkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di satu sisi, UU ITE dapat digunakan sebagai instrumen perlindungan hukum terhadap kejahatan di ruang digital. Di sisi lain, norma-norma tertentu dalam UU ITE justru berpotensi menimbulkan kriminalisasi, termasuk terhadap korban KBGO yang berupaya menyuarakan pengalaman kekerasannya.Dalam konteks ini, negara tidak cukup hanya hadir sebagai pembentuk regulasi, tetapi juga sebagai penentu arah politik hukum yang tegas di ruang digital. Mengacu pada pandangan Mahfud MD bahwa hukum merupakan produk dari garis kebijakan resmi negara, inkonsistensi antara UU TPKS dan UU ITE menunjukkan belum solidnya arah politik hukum perlindungan korban KBGO. Negara masih tampak ragu antara mempertahankan pendekatan pengendalian ruang digital dan memperkuat perlindungan hak asasi manusia, sehingga kebijakan hukum yang lahir belum sepenuhnya berpihak pada korban.
Ketidaksinkronan antara UU TPKS dan UU ITE mencerminkan tantangan politik hukum perlindungan korban KBGO di Indonesia. Negara berada pada posisi dilematis antara keinginan untuk menjaga ketertiban di ruang digital dan kewajiban untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia. Tanpa arah politik hukum yang tegas dan konsisten, perlindungan korban berisiko menjadi simbolik dan tidak efektif dalam praktik.
Oleh karena itu, membaca arah politik hukum perlindungan korban kekerasan berbasis gender online tidak cukup hanya dengan melihat keberadaan undang-undang, tetapi juga konsistensi kebijakan negara dalam implementasinya. Dalam kerangka pemikiran Mahfud MD, hukum seharusnya menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan negara, termasuk perlindungan terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial. Politik hukum ke depan perlu diarahkan secara lebih tegas pada perlindungan korban, dengan memastikan bahwa seluruh regulasi di ruang digital selaras dan berperspektif gender, sehingga hukum benar-benar hadir sebagai alat perlindungan, bukan justru sumber kerentanan baru bagi korban.