JAMBI, MATAJAMBI.COM - Brasil baru-baru ini mencatat kematian pertama di dunia akibat virus Oropouche, menimbulkan kekhawatiran global tentang penyebaran penyakit yang disebarkan melalui gigitan nyamuk dan lalat yang terinfeksi. Dua wanita muda di Bahia, Brasil, menjadi korban terbaru dari virus ini, menarik perhatian dunia medis dan masyarakat internasional.
Pada hari Kamis, dua wanita di bawah usia 30 tahun yang tidak memiliki riwayat penyakit komorbid meninggal di Bahia akibat infeksi virus Oropouche. Kementerian Kesehatan Brasil melaporkan bahwa pada tahun 2024, terdapat 7.236 kasus virus Oropouche, mayoritas terjadi di negara bagian Amazonas dan Rondonia. Gejala yang dialami pasien mirip dengan demam berdarah dengue yang parah, termasuk demam, nyeri otot, sendi kaku, sakit kepala, muntah, mual, menggigil, dan sensitivitas terhadap cahaya.
Penjelasan Pakar Epidemiologi
Pakar epidemiologi, Dicky Budiman, menjelaskan bahwa virus Oropouche sebenarnya bukan penyakit baru. Virus ini telah teridentifikasi sejak tahun 1995 dan banyak tersebar di Amerika Latin, termasuk Brasil dan Peru. Dicky menyebutkan bahwa potensi mewabahnya virus ini di negara-negara tropis lain, termasuk ASEAN dan Indonesia, cukup besar. Terutama di wilayah yang dekat dengan habitat liar atau daerah dengan populasi nyamuk yang tinggi.
Dicky menekankan pentingnya surveilans yang ketat dan pemantauan di pintu kedatangan internasional. Setiap individu yang mengeluhkan demam harus diawasi dengan cermat untuk mencegah penyebaran virus ini. Selain itu, Dicky juga menyebutkan potensi virus Oropouche menyebabkan komplikasi serius seperti keguguran dan bayi lahir dengan kondisi kepala kecil, mirip dengan dampak virus Zika.
Baca Juga : Tragis! Selebgram Medan Meninggal Usai Operasi Sedot Lemak di Depok, Kronologi Lengkap Terungkap Disini
Pandangan WHO tentang virusoropouche">Virus Oropouche
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memberikan pernyataan tentang virus Oropouche, menjelaskan bahwa virus ini ditularkan ke manusia terutama melalui gigitan nyamuk Culicoides paraensis, yang biasanya ditemukan di daerah berhutan dan di sekitar badan air. Nyamuk Culex quinquefasciatus tertentu juga dapat menjadi vektor. WHO mencatat bahwa sirkulasi virus ini mencakup siklus epidemik dan siklus sylvatik, dengan primata, kukang, dan mungkin burung sebagai inang vertebrata dalam siklus sylvatik.