Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Akademisi UIN STS Jambi.
Kasus penangkapan Bupati Ogan Ilir, AW Nofiadi Mawadi, oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) telah mengguncang berbagai kalangan dan menimbulkan kehebohan di masyarakat. AW Nofiadi Mawadi, yang dikenal sebagai bupati termuda di daerahnya, dinyatakan positif menggunakan narkoba jenis sabu-sabu. Penangkapan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga langsung memicu kritik tajam terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab dalam proses seleksi kepala daerah.
Masyarakat dan berbagai pihak kini mempertanyakan ketelitian dan integritas proses seleksi yang telah dilakukan. Apakah proses tersebut benar-benar ketat dan transparan, atau terdapat kelonggaran yang memungkinkan seorang calon kepala daerah lolos meskipun terlibat dalam penyalahgunaan narkoba? Kasus ini menyoroti kelemahan mendasar dalam mekanisme pemilihan dan seleksi calon kepala daerah, serta menuntut evaluasi serius terhadap standar dan prosedur yang berlaku serta tanggung jawab berbagai pihak dalam memastikan bahwa hanya kandidat yang benar-benar layak dan bebas dari pengaruh narkoba yang dapat memimpin daerah. Klik untuk baca: artikel di Kompasiana mengenai Kepala Daerah dan Narkoba di sini: 5 Opini tentang Kepala Daerah yang Terjerat Narkoba.
Fakta bahwa seorang calon atau kepala daerah dapat lolos dari berbagai tahapan seleksi tanpa terdeteksi penyalahgunaan narkoba menimbulkan keraguan tentang efektivitas pemeriksaan latar belakang yang dilakukan selama proses pencalonan. Apakah uji kesehatan yang selama ini diterapkan benar-benar mencakup tes narkoba yang memadai, atau justru ada kelalaian dalam prosedur ini? Kelemahan ini menunjukkan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap standar seleksi calon kepala daerah.
Lebih dari itu, kasus ini memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab berbagai pihak, mulai dari partai politik yang mengusung calon, KPU sebagai penyelenggara, hingga lembaga penegak hukum. Setiap aktor dalam proses pemilu memiliki peran penting dalam memastikan bahwa hanya individu-individu yang layak dan bebas dari pengaruh narkoba yang bisa memimpin daerah. Kejadian ini membuka peluang untuk meninjau kembali mekanisme seleksi yang selama ini diterapkan, termasuk memperketat pemeriksaan latar belakang calon kepala daerah.
Publik tentu menginginkan transparansi lebih lanjut dari KPU maupun partai politik terkait bagaimana AW Nofiadi bisa lolos seleksi meski terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan pemilu dipertaruhkan. Oleh karena itu, penting bagi institusi terkait untuk segera mengambil tindakan korektif. Seleksi harus lebih ketat, memastikan bahwa integritas calon kepala daerah terjaga. Jika tidak, kasus serupa bisa saja terulang, dan ini akan semakin menggerus kredibilitas demokrasi lokal di mata publik.
Selain itu, keberadaan calon kepala daerah yang merupakan bekas pecandu narkoba menimbulkan dilema tersendiri di tengah masyarakat. Di satu sisi, mereka yang telah menjalani rehabilitasi layak mendapatkan kesempatan kedua. Bekas pecandu yang berkomitmen untuk berubah bahkan dapat menjadi advokat yang efektif dalam memerangi penyalahgunaan narkoba. Namun, di sisi lain, ada keraguan di masyarakat terkait stabilitas moral dan integritas seseorang dengan latar belakang seperti itu. Mereka khawatir, apakah orang tersebut benar-benar mampu memimpin dengan bersih dan bebas dari pengaruh negatif.