FLORIDA, MATAJAMBI.COM - Donald Trump kembali memenangkan pemilihan presiden AS 2024, hanya empat tahun setelah masa jabatannya yang pertama berakhir secara kontroversial. Dengan kemenangan ini, Trump berhasil mengamankan lebih dari 270 suara Electoral College yang diperlukan, dengan Wisconsin menjadi negara bagian kunci yang menentukan kemenangan. Proyeksi oleh Edison Research menunjukkan Trump unggul di 26 negara bagian, yang memberikannya 266 suara elektoral, hingga akhirnya melewati ambang kemenangan.
Dalam pidato kemenangannya di Palm Beach County Convention Center, Florida, Trump menyebut kemenangan ini sebagai "mandat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kuat" dari rakyat Amerika. Ia mengklaim bahwa kampanyenya mendapatkan dukungan luas karena keberhasilannya dalam menyoroti isu-isu penting bagi banyak pemilih, termasuk kenaikan biaya hidup dan imigrasi ilegal. Meskipun kampanye Trump dipenuhi retorika keras yang menuai kontroversi, pesan tersebut ternyata efektif menarik simpati di kalangan pemilih yang merasa khawatir dengan situasi domestik dan ekonomi AS.
Di sisi lain, pesaing Demokratnya, Kamala Harris, belum memberikan pernyataan resmi dan memilih mengutus ketua kampanye, Cedric Richmond, yang menyatakan bahwa "suara masih harus dihitung." Namun, berdasarkan hasil sementara, Trump tetap unggul dengan perolehan 267 suara elektoral dibandingkan Harris yang memperoleh 214 suara.
Selain kemenangan Trump, Partai Republik juga berhasil menguasai mayoritas kursi di Senat, meskipun hasil pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat masih ketat tanpa keunggulan jelas bagi salah satu partai. Kemenangan ini mencerminkan semakin dalamnya polarisasi politik di Amerika Serikat, dengan kampanye Trump yang kontroversial dan berani memainkan isu-isu sensitif sebagai strategi politiknya.
Baca Juga : Kamala Harris Batalkan Pesta Pemilu, Peluang Menang Sempit di Pilpres AS
Kemenangan ini tidak hanya berarti kembalinya Trump ke Gedung Putih, tetapi juga mempengaruhi dinamika politik AS ke depan. Trump kini memiliki mandat baru yang bisa mendorong kebijakan-kebijakan tegas di berbagai sektor, khususnya dalam isu imigrasi, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, yang cenderung mengikuti pendekatan "Offensive Realism."*