Surat ini dengan jelas menunjukkan rasa kecewa dr. Diani terhadap kebijakan yang dianggapnya tidak menghormati keberagaman dan hak individu untuk menjalankan keyakinan agamanya.
Setelah peristiwa ini, dr. Diani mengaku tidak menyesali keputusannya untuk keluar dari RS Medistra. Ia menyatakan bahwa rezeki tidak hanya ada di satu tempat, dan dengan keyakinan penuh, ia memilih untuk meninggalkan institusi yang dianggapnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipegang teguh.
Pernyataan dan keputusan dr. Diani ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPRD DKI Jakarta. Keduanya mengecam dugaan kebijakan diskriminatif RS Medistra, dengan MUI meminta klarifikasi segera dari pihak rumah sakit dan mendorong Kementerian Kesehatan untuk melakukan investigasi mendalam.
Kasus ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, khususnya di media sosial, di mana banyak orang mendukung langkah tegas terhadap kebijakan yang dianggap diskriminatif ini. Jika dugaan ini terbukti benar, RS Medistra bisa menghadapi tekanan serius untuk merevisi kebijakan internalnya dan memastikan bahwa tidak ada lagi tindakan diskriminatif terhadap tenaga medis atau pegawai lain yang memilih untuk mengenakan hijab.
Baca Juga : Kronologi Bocah SD Dibully, Dipaksa Makan Roti Isi Tusuk Gigi Plastik
Dengan semakin meningkatnya kesadaran publik terhadap isu hak asasi manusia dan kebebasan beragama, kasus seperti ini bisa menjadi ujian penting bagi institusi kesehatan di Indonesia untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap prinsip inklusi dan keberagaman.*