KUPANG,MATAJAMBI.COM - Kasus dugaan mafia bahan bakar minyak (BBM) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tengah menjadi sorotan setelah diungkap oleh mantan anggota Polres Kupang, Inspektur Dua (Ipda) Rudy Soik. Penimbunan minyak bersubsidi ini dikabarkan berkontribusi pada kelangkaan BBM yang kerap dikeluhkan nelayan setempat. Melansir Tempo Rabu 30 Oktober 2024, Berdasarkan penyelidikan Rudy, mafia solar ini diduga meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah setiap harinya melalui modus penimbunan dan penjualan solar bersubsidi secara ilegal.
Menurut Rudy, modus yang digunakan oleh pelaku melibatkan barcode Pertamina, yang memungkinkan mereka membeli solar bersubsidi di SPBU dengan harga Rp6.800 per liter. Mereka kemudian menjualnya kembali dengan harga jauh lebih tinggi, berkisar antara Rp18.000 hingga Rp20.000 per liter, sehingga mendapat keuntungan besar dari selisih harga tersebut.
Rudy menjelaskan bahwa barcode resmi ini sebenarnya tidak dimiliki oleh para pelaku langsung, melainkan dioperasikan atas nama orang lain. Dari hasil penyitaan, empat barcode Pertamina diduga dimiliki oleh seorang pengusaha perikanan asal Cilacap, Jawa Tengah, dan seharusnya hanya boleh digunakan untuk keperluan operasional kapal milik pengusaha tersebut. Dua dari barcode ini memiliki kapasitas untuk pengambilan solar bersubsidi sebesar 4.000 liter per hari, sementara dua lainnya bisa mengakses 4.000 liter per bulan.
Para pelaku menjalankan operasinya dengan menggunakan truk tangki berkapasitas 5.000 liter. Setiap harinya, mafia solar ini bisa menjual hingga 10.000 liter solar bersubsidi, dengan keuntungan sekitar Rp56 juta per 5.000 liter, atau Rp112 juta per hari.
Baca Juga : Satreskrim Polres Batang Hari Gelar Rekonstruksi Kasus Perampasan Mobil, Puluhan Adegan Diperagakan
Namun, perjuangan Rudy dalam membongkar kasus ini tidak tanpa hambatan. Upaya penyelidikan Rudy harus terhenti setelah ia mendapatkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) Polda NTT pada 11 Oktober lalu. Rudy disanksi karena dinilai melanggar kode etik, yakni memasang garis polisi di tempat penampungan minyak milik dua anggota jaringan ilegal berinisial AA dan AG.
Salah satu pelaku, AA, diketahui merupakan residivis kasus yang sama. Pada tahun 2022, AA pernah ditangkap karena membawa 6.000 liter solar bersubsidi ilegal, namun keluar dari penjara pada tahun berikutnya dan diduga kembali mengulangi perbuatannya. Bahkan, pada 2023 Polresta Kupang kembali menangkap AA saat hendak mengirimkan minyak ke Timor-Leste, meskipun akhirnya AA dinyatakan tidak bersalah di pengadilan.