JAKARTA, MATAJAMBI.COM – Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri resmi menetapkan dua nama yakni Deniel Chandra (DC) dan Notaris Tubagus Kiemas (TK) sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemalsuan Akta Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bumi Borneo Inti.
Status tersangka ditetapkan pada 30 Juni 2025, setelah proses penyelidikan yang bermula dari laporan hukum yang dilayangkan oleh Herman Trisna pada 2022 silam.
Laporan itu tercatat dalam Nomor: LP/B/0400/VII/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI, dengan dasar dugaan bahwa keduanya telah melanggar Pasal 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen otentik.
Mereka disangka menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akta resmi yang kemudian digunakan dalam proses hukum seolah-olah dokumen tersebut sah sesuai kenyataan.
Baca Juga: Mayat Wanita Tanpa Busana Ditemukan di Sungai , Ternyata Sopir Pribadi Dalangnya!
Langkah penyidik ini memperkuat dugaan adanya manipulasi administratif dalam upaya penguasaan ilegal atas kepemilikan PT Bumi Borneo Inti.
Nama Deniel Chandra sendiri bukan kali pertama terlibat dalam kasus serupa. Sebelumnya, pada 14 Mei 2025, ia juga telah duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Sengeti, Kabupaten Muaro Jambi.
Ia diadili atas dugaan pemalsuan surat dan tindakan penipuan yang masih terkait dengan konflik kepemilikan dalam tubuh perusahaan tersebut.
Menanggapi penetapan tersangka ini, kuasa hukum Herman Trisna, Pratama, menyambut positif langkah yang diambil oleh pihak penyidik.
Baca Juga: Bupati Batang Hari Sambut Kepulangan 196 Jemaah Haji di Rumah Dinas
Ia menilai kinerja penyidik Bareskrim telah menunjukkan profesionalisme dan ketegasan dalam menindaklanjuti laporan yang selama ini diperjuangkan pihaknya.
“Kami memberikan apresiasi penuh kepada Bareskrim Polri yang telah bertindak secara objektif dan proporsional. Penetapan tersangka ini menjadi angin segar dan penegasan bahwa proses hukum berjalan sesuai relnya.
Sejak awal kami telah menyerahkan berbagai bukti, dan hari ini ada titik terang atas laporan klien kami,” kata Pratama kepada awak media.
Ia menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar sengketa administratif biasa, melainkan menyangkut keabsahan kepemilikan perusahaan dan kredibilitas sistem hukum nasional.