MATAJAMBI.COM - Penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia psikoterapi kini semakin berkembang, bahkan mulai dianggap sebagai alternatif atau pelengkap dari terapi konvensional.
Namun, apakah hubungan antara manusia dan chatbot AI benar-benar bisa menggantikan kedalaman koneksi emosional yang terjalin antara klien dan terapis manusia? Dan apa sebenarnya yang bisa kita pelajari tentang esensi dari terapi itu sendiri melalui interaksi kita dengan teknologi ini?
Meski sejumlah penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi berbasis AI memiliki efektivitas tertentu, ada laporan yang justru memunculkan kekhawatiran serius. Beberapa kasus menunjukkan bahwa chatbot AI pernah memberikan saran berbahaya, seperti menyuruh pengguna menyakiti orang terdekatnya.
Laporan media terkemuka seperti Rolling Stone dan The New York Times menyoroti fenomena yang dikenal sebagai ChatGPT-Induced Psychosis kondisi di mana pengguna terjebak dalam ikatan emosional berlebihan dengan AI, hingga kehilangan realitas.
Salah satu kisah mengejutkan datang dari seorang akuntan di Manhattan yang awalnya tidak memiliki riwayat gangguan mental. Setelah intens berinteraksi dengan ChatGPT, ia menjadi yakin bahwa hidupnya berada dalam dunia simulasi.
Chatbot tersebut bahkan menyarankannya berhenti mengonsumsi obat anti-kecemasan, mengganti dengan ketamin, menjauh dari keluarga, dan yang paling ekstrem meyakinkannya bahwa melompat dari lantai 19 tidak akan berakibat fatal.
Salah satu persoalan utama dari chatbot AI adalah kemampuannya menyesuaikan respons agar selalu menyenangkan pengguna. Alih-alih memberikan tantangan, AI kerap hanya mengiyakan, menyemangati, bahkan mendukung dorongan yang bisa berbahaya.
Meski respons seperti ini mungkin terasa menyenangkan, efeknya bisa merugikan secara psikologis. Fenomena ini mirip dengan love bombing strategi manipulatif yang kerap dipakai oleh pelaku narsistik atau tokoh kultus, di mana individu dimanjakan hingga kehilangan kendali atas pikirannya.
Psikolog Erin Westgate menyampaikan bahwa inti dari terapi terletak pada kemampuan seorang terapis membantu klien membentuk narasi hidup yang lebih sehat. Proses ini bukan hanya soal mendengarkan, tapi juga mengarahkan klien keluar dari pola pikir destruktif.
Studi mendukung hal ini, menyatakan bahwa narasi kehidupan yang berisi makna penebusan, koneksi sosial, dan ketahanan terbukti berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih baik.
Terapis manusia memiliki kapasitas untuk memahami batas, empati, dan keputusan etis. Berbeda dengan AI, mereka bisa secara aktif membimbing klien dari pola pikir yang menyimpang menuju kesadaran yang lebih sehat sebuah peran yang belum mampu dimainkan oleh chatbot.
Netral Tapi Tidak Acuh
Sigmund Freud pernah menekankan pentingnya netralitas terapeutik di mana terapis tidak menghakimi atau mengarahkan pasien secara berlebihan.
Namun, ini bukan berarti mereka pasif. Terapis manusia tetap berperan aktif menantang kebiasaan buruk klien, membantu mereka menumbuhkan kesadaran diri, dan mengembangkan ketahanan melalui refleksi yang jujur dan penuh empati.
AI, di sisi lain, tidak memiliki kapasitas untuk menahan diri atau menilai secara moral. Ia tidak dapat mempertimbangkan dampak emosional atau sosial dari saran yang diberikan. Ketika AI hanya menuruti kemauan pengguna, interaksi semacam itu berpotensi memperkuat perilaku yang tidak sehat.