JAKARTA, MATAJAMBI.COM – Isu dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Presiden Joko Widodo kembali mencuat dan memicu diskusi hangat di berbagai platform digital dan media sosial.
Kali ini, kasus tersebut menyeret nama mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo serta podcaster Mikhael Sinaga, yang telah dimintai keterangan oleh penyidik Polda Metro Jaya.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung pada Rabu, 15 Mei 2025, Roy Suryo mengungkap bahwa dirinya menjawab lebih dari dua puluh pertanyaan dari penyidik.
“Proses klarifikasi saya berjalan cukup lancar. Total ada 24 pertanyaan yang saya jawab secara terbuka dan transparan,” ujarnya kepada awak media usai keluar dari gedung Mapolda Metro Jaya, Jakarta.
Ramainya kembali isu ini mengingatkan publik pada tahun 2022 silam, ketika beberapa orang yang mengaku sebagai teman kuliah Jokowi di Universitas Gadjah Mada (UGM) secara terbuka menyatakan dukungan mereka terhadap keaslian ijazah sang Presiden.
Salah satu yang cukup vokal adalah Mustoha Iskandar, alumnus Fakultas Kehutanan UGM. Dalam konferensi pers di Sleman, Yogyakarta pada 21 Oktober 2022, Mustoha menyatakan bahwa Jokowi memang satu angkatan dengannya dan lulus dari program studi yang sama pada tahun 1985.
“Yang sedang dipertanyakan itu ijazah dari Fakultas Kehutanan UGM, dan saya tegaskan bahwa ijazah itu benar adanya. Saya seangkatan dengan Pak Jokowi,” tutur Mustoha, yang kini aktif di organisasi alumni kehutanan UGM.
Kasus ini sendiri menjadi sorotan karena berkaitan langsung dengan kredibilitas dan legalitas seorang kepala negara. Meski berulang kali dibantah, isu ini kembali mencuat berkat perkembangan media digital yang memudahkan penyebaran opini dan narasi tidak terverifikasi.
Dari perspektif hukum, penelusuran terhadap dugaan ijazah palsu termasuk kategori serius, karena menyangkut dokumen negara dan rekam jejak pejabat publik. Kendati demikian, hingga saat ini belum ada temuan resmi dari aparat penegak hukum yang membuktikan bahwa ijazah Presiden Jokowi tidak sah.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Arif Rachman, menyebutkan bahwa penyelidikan terhadap dokumen akademik pejabat negara harus dilakukan dengan hati-hati, berbasis bukti, dan tidak boleh menjadi alat politik.
Ia menekankan pentingnya pendekatan objektif agar hukum tidak dijadikan senjata dalam persaingan politik.
Sementara itu, masyarakat diminta untuk tetap kritis namun juga cerdas dalam mencerna informasi. Hoaks dan disinformasi seputar latar belakang pendidikan pejabat kerap digunakan untuk menggiring opini publik, terutama menjelang tahun politik.
Pihak UGM sendiri sudah beberapa kali memberikan klarifikasi, termasuk menunjukkan arsip akademik dan bukti kelulusan Jokowi. Namun demikian, sorotan publik tak kunjung surut seiring dengan terus beredarnya narasi-narasi alternatif di dunia maya.
Dengan makin berkembangnya investigasi ini, banyak pihak menantikan hasil resmi dari proses klarifikasi dan penelusuran hukum yang sedang berjalan.