JAMBI, MATAJAMBI.COM - Isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian di berbagai kalangan, termasuk di Indonesia. Tidak lagi dianggap sebagai masalah sepele, isu ini penting untuk diangkat dalam medium yang mampu menjangkau banyak orang, salah satunya adalah film. Audiovisual sebagai medium mampu mengomunikasikan pesan penting secara lebih luas dan efektif, menjangkau beragam lapisan masyarakat dari berbagai daerah.
Hal inilah yang menjadi latar belakang Prilly Latuconsina dalam memproduksi film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis. Terinspirasi dari penggalan lirik lagu “Runtuh”, yang dinyanyikan oleh Feby Putri dan Fiersa Besari, film ini membawa tema kesehatan mental dengan penggarapan yang penuh makna. Film ini menyoroti pentingnya dukungan bagi mereka yang berjuang menghadapi tekanan mental, sekaligus menampilkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari yang relevan.
Cerita dan Tema yang Relevan
Secara garis besar, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis bercerita tentang perjuangan tokoh-tokoh di dalamnya yang berhadapan dengan trauma dan luka batin. Film ini menawarkan perspektif baru dengan memperkenalkan support group atau kelompok dukungan, yang berperan penting dalam proses penyembuhan mental. Di Indonesia, keberadaan support group masih dianggap tabu, namun film ini membuka mata penonton akan pentingnya kelompok-kelompok tersebut dalam membantu mereka yang sedang berjuang menghadapi trauma dan masalah mental.
Dalam film ini, Prilly Latuconsina menyoroti bagaimana support group dapat menjadi ruang aman bagi individu yang sedang berjuang. Lewat penelitian dan pengembangan mendalam, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis menyajikan berbagai masukan berharga tentang cara mengatasi masalah kesehatan mental, terutama di lingkungan keluarga yang toksik.
Baca Juga : Hentikan Kebiasaan Ini Sekarang: Ponsel Sebagai Jam Alarm Dapat Membahayakan Kesehatan Anda!
Pujian untuk Surya Saputra dan Penampilan Dikta Wicaksono
Selain tema yang mendalam, film ini juga menawarkan kualitas akting yang luar biasa dari para pemerannya. Surya Saputra, yang berperan sebagai Pak Pras, tampil memukau sepanjang film. Ia berhasil menghidupkan karakter ayah yang penuh tekanan dengan detail yang sangat tajam. Mulai dari nada bicara, ekspresi kemarahan, hingga gerak-geriknya, Surya berhasil menunjukkan talenta aktingnya yang luar biasa.
Penampilan Prilly Latuconsina sebagai tokoh utama juga tidak kalah berkesan. Meskipun bukan kali pertama ia berperan sebagai perempuan yang tertekan dalam keluarga, Prilly mampu menghadirkan emosi yang menyentuh hati penonton. Chemistry antara Prilly dan Surya di layar sangat mendalam, memperkuat pesan film ini tentang pentingnya merawat kesehatan mental di dalam keluarga.
Namun, sorotan berbeda justru tertuju pada Dikta Wicaksono yang memerankan karakter Baskara. Mantan vokalis Yovie and Nuno ini dinilai kurang memberikan sentuhan khusus pada karakternya. Penampilannya dinilai kurang berbeda dari sosok aslinya, dan ruang eksplorasi yang ada dalam karakter Baskara dirasa belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh Dikta. Hal ini disayangkan, mengingat karakter Baskara memiliki potensi untuk lebih dikembangkan.
Penggambaran Realistis dan Menyentuh
Film ini berhasil mengangkat tema sensitif dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Penggambaran kehidupan sehari-hari serta karakter-karakter yang mudah ditemui dalam realitas, membuat Bolehkah Sekali Saja Kumenangis terasa dekat dengan penonton. Tanpa membesar-besarkan masalah, film ini berhasil menyampaikan pesan utama tentang pentingnya menjaga kewarasan, terutama dalam lingkungan keluarga yang mungkin tidak selalu mendukung.
Selain itu, film ini juga memberikan banyak pembaruan yang menarik, salah satunya dengan menampilkan bagaimana trauma dan luka batin bisa disembuhkan melalui dukungan sosial. Pesan ini terasa kuat dan relevan bagi masyarakat Indonesia yang masih sering menyepelekan pentingnya kesehatan mental.