MATAJAMBI.COM - Tekanan untuk segera menikah sering kali menjadi “tamu tak diundang” dalam kehidupan banyak orang, terutama mereka yang sudah memasuki usia pertengahan 20-an hingga 30-an.
Hampir setiap acara keluarga atau reuni besar selalu dibumbui dengan pertanyaan klasik: “Kapan menikah?”
Awalnya mungkin terasa seperti candaan ringan. Namun lama-kelamaan, pertanyaan itu bisa berubah menjadi ceramah panjang, perbandingan dengan saudara lain, bahkan sindiran yang terasa seperti tekanan emosional.
Situasi ini nyata adanya, dan banyak yang akhirnya merasa terjebak untuk segera menikah meski belum benar-benar siap.
Padahal, keputusan untuk menikah tanpa kesiapan justru berpotensi menimbulkan ketidakbahagiaan di kemudian hari.
Lalu bagaimana cara menghadapi desakan keluarga tanpa merusak keharmonisan dan tetap menjaga rasa hormat?
Sebagian besar dorongan itu muncul bukan semata-mata karena ingin mengatur hidup Anda, melainkan karena cinta, tradisi, dan kekhawatiran. Orang tua mungkin takut Anda “terlambat,” membandingkan dengan sepupu yang sudah lebih dulu menikah, atau sekadar mengikuti nilai budaya. Menyadari hal ini akan membantu Anda merespons dengan empati, bukan amarah.
Menghindar dengan bercanda kadang hanya membuat pertanyaan itu terus berulang. Cobalah jawab dengan tegas namun tetap sopan. Misalnya: “Saya ingin menikah saat benar-benar siap, bukan karena tekanan.”
Sikap ini menunjukkan bahwa Anda serius mempertimbangkan masa depan, bukan menyepelekan pernikahan.
Pernikahan memang penting, tapi bukan satu-satunya tolok ukur kesuksesan. Daripada larut dalam desakan keluarga, lebih baik arahkan energi untuk membangun karier, memperkuat finansial, menjaga kesehatan, atau mengejar passion.
Saat Anda memiliki fondasi hidup yang kuat, keputusan menikah pun akan lahir dari pilihan matang, bukan sekadar menghindari gosip keluarga.