JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Menginap atau bermalam di Muzdalifah merupakan salah satu rangkaian ibadah yang wajib dilaksanakan oleh jemaah haji setelah menyelesaikan puncak ritual haji, yaitu wukuf di Arafah yang jatuh setiap tanggal 9 Zulhijah.
Usai menjalani wukuf, pada malam harinya, seluruh jemaah akan bergerak menuju Muzdalifah. Di sinilah mereka akan menjalani prosesi mabit, yaitu berdiam sejenak hingga waktu subuh, sebagai bagian dari rangkaian ibadah.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 198 menyebutkan, "Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram.” Dalam konteks ini, Masy’aril Haram merujuk pada kawasan Muzdalifah.
Dikutip dari penjelasan resmi Kementerian Agama, istilah "Muzdalifah" secara etimologis berasal dari kata al-izdilaf yang bermakna berkumpul atau bertemu. Kata ini juga memiliki padanan makna dengan at-tajammu’ dan al-iltiqa, yang semuanya menunjuk pada makna pertemuan atau perhimpunan.
Baca Juga: Idul Adha 2025 Jatuh di Hari Jumat, Apakah Shalat Jumat Masih Wajib? Ini Penjelasan Ulama!
Dalam sejarah Islam, Muzdalifah dipercaya sebagai lokasi bertemunya Nabi Adam AS dan Siti Hawa setelah terpisah selama ratusan tahun. KH. M. Ulinnuha, penasihat ibadah (musytasyar dini) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, menjelaskan bahwa pertemuan bersejarah itu menjadi dasar penamaan tempat ini.
“Nama Muzdalifah diberikan karena di tempat ini Nabi Adam dan Siti Hawa kembali dipertemukan,” ujar Ulinnuha dalam keterangan resminya, Jumat, 6 Juni 2025. Ia menambahkan, ketentuan mabit ini merujuk pada firman Allah serta praktik yang dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW saat menunaikan haji wada’.
Mayoritas ulama sepakat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya wajib bagi jemaah haji. Jika tidak dilaksanakan tanpa alasan syar’i, maka diwajibkan membayar dam (denda). Saat berada di sana, jemaah juga dianjurkan memperbanyak dzikir dan menyiapkan kerikil untuk prosesi lempar jumrah di Mina.
Namun untuk pelaksanaan haji tahun ini, Kemenag menerapkan skema khusus bernama "Murur". Skema ini memperbolehkan jemaah hanya melewati kawasan Muzdalifah tanpa turun dari kendaraan, lalu langsung diarahkan ke Mina.
Baca Juga: Bersama Rindam Jaya, IFG Tanamkan Nilai-nilai Pancasila untuk Bangun SDM Unggul dan Berkarakter
Skema ini diterapkan dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan keselamatan jemaah, serta keterbatasan ruang di Muzdalifah. “Fatwa dari ulama Mesir menyatakan bahwa skema murur dibolehkan mengingat tidak memungkinkan jutaan jemaah berhenti bersamaan di lokasi tersebut,” jelas Ulinnuha.
Ia juga merujuk riwayat sahih yang menyebutkan bahwa sejumlah sahabat yang memiliki tugas khusus seperti menggembala atau memberi makan, serta kaum perempuan yang dikhawatirkan mengalami haid lebih awal, diberi keringanan oleh Nabi untuk tidak bermalam di Muzdalifah.
Karena alasan tersebut, PPIH secara selektif menetapkan 50 ribu jemaah yang akan mengikuti skema ini, terutama yang berasal dari kalangan lanjut usia, penyandang disabilitas, dan jemaah yang secara medis dinyatakan uzur.
Meski terdapat perbedaan pelaksanaan, pihak PPIH menegaskan bahwa secara fikih, skema ini tetap sah dan tidak membatalkan rangkaian ibadah haji, sebab bertujuan untuk menjaga kelancaran dan keselamatan seluruh jemaah di tengah padatnya arus pergerakan.